Welcome to our online store

Setelah SBY Melucuti Anas

TRIBUNJAMBI.COM - Saya termasuk yang tersentak oleh keputusan Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat pada Jumat, 8 Februari, malam lalu. Mengingat SBY yang amat santun, sekian jam sebelumnya saya masih berpendapat, tak ada yang dramatis dari agenda penyelamatan PD yang diumumkannya malam itu.
Namun, ternyata, dari posisinya sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat (PD), SBY tanpa kelihatan ragu mengambil alih kepemimpinan PD. Ketua Umum PD Anas Urbaningrum dilucuti.
Tak pernah saya bayangkan SBY akan bertindak seberani itu terhadap Anas yang, menurut saya, praktis sudah ”membawa lari” PD secara perlahan sejak terpilih pada Kongres Bandung. Kemenangan Anas pada kongres itu– terlepas bagaimana dan dengan biaya berapa–adalah satu kekalahan SBY yang diketahui menjagokan Andi A Mallarangeng.
Modal lebih besar
Anas dan Mallarangeng sebenarnya pendatang baru di PD. Kedua mantan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu tidak berada di sekitar SBY ketika PD digagas dan dibangun. Dari rekam jejak, Anas bergabung ke PD dengan modal yang jauh lebih besar dari potensi yang dimiliki Mallarangeng.
Anas adalah mantan Ketua HMI, organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia. Tidak mudah terpilih menjadi ketua HMI. Sebuah proses politik panjang harus dilalui seorang calon sebelum berhasil terpilih. Dengan kata lain, Anas Urbaningrum (seperti juga Akbar Tandjung, Ferry Mursyidan Baldan, Harry Azhar Azis, dan sejumlah mantan pemimpin HMI lainnya) adalah orang yang telah melewati pendidikan politik dan pengalaman berorganisasi yang solid.
Itulah penjelasan mengapa Anas bukan saja memenangi kepemimpinan PD, melainkan dalam waktu singkat juga berhasil mengonsolidasikan kontrolnya atas partai yang didirikan SBY itu. Yang memfasilitasi penguasaan Anas atas PD adalah—kecuali SBY—nyaris tidak adanya tokoh partai yang berpengalaman politik dan memiliki kemampuan mengelola organisasi secukupnya. Hampir semua tokoh PD adalah politikus mendadak.
Itulah penjelasan mengapa mereka secara dramatis terpaksa memohon SBY turun tangan menghadapi Anas. Menteri Syarifuddin Hasan, seorang pemimpin PD, menyatakan secara meyakinkan di depan kamera TV, ”Partai Demokrat adalah SBY, dan atas dasar itu Bapak Presiden dimohon turun tangan menyelamatkan partai dari ancaman kemerosotan elektabilitas.”
Yang disalahkan para pemimpin PD adalah Anas yang namanya memang terus terdengar sehubungan dengan korupsi yang melilit proyek Hambalang. Anas melawan dengan menyebut kasus Hambalang sebagai bukan satu-satunya penjelasan bagi kemerosotan elektabilitas PD.
Kinerja pemerintah dituding Anas sebagai alasan lain. Dengan penuh keberanian, Ketua Umum PD itu menuding SBY sebagai pemimpin pemerintahan yang kinerjanya ikut membawa dampak negatif terhadap kemerosotan elektabilitas itu.
Kekuatan Anas
Sadar akan kekuatan Anas sebagai politikus dan organisatoris berpengalaman, SBY memerlukan waktu lama sebelum tiba pa- da keputusan melucuti Anas. Untuk waktu lama SBY terlihat enggan bertindak. Kelambanan itu juga tampaknya disebabkan: bagi SBY, PD dibangun terutama hanya sebagai instrumen untuk menjadi presiden. Tidak terlalu salah menyimpulkan fungsi PD bagi SBY sudah selesai setelah meraih kursi kepresidenan.
Adalah pemikiran tentang pergolakan politik pasca-kepresidenannya yang mungkin mendorong SBY—demi keamanan diri dan keluarganya kelak—merasa perlu mengontrol sebuah partai. SBY terpaksa turun tangan karena tak seorang pun tokoh PD sanggup menghadapi Anas. Meski untuk tindakan demikian SBY mendapat kecaman banyak pihak karena mengurusi partainya, setelah menganjurkan anggota kabinetnya berkonsentrasi pada urusan mereka sebagai menteri.
Pertanyaan selepas keputusan SBY: akan tinggal diamkah Anas? Apa yang mungkin ia lakukan? Bagaimana pula SBY menaikkan elektabilitas PD? Setelah ”mere- but kembali” PD yang sejak Kongres Bandung ”dibawa lari” Anas, apakah SBY masih mungkin menyelamatkan partai yang ia dirikan?
Dalam keadaan wewenang Anas telah dilucuti sebagai ketua umum, bagaimana nasib kekuat- an yang selama ini dibina Anas di bawah sana? Kalau lembaga yang memutuskan pencalonan di DPR dan DPRD tak lagi berada di ta- ngan ketua umum, lalu apa kepentingan dan keuntungan para pengikut terus mendukung Anas yang telah dilucuti itu?
Secara cepat bisa dikatakan ada dua pilihan yang tersedia bagi Anas: ”melawan” SBY yang kini memegang legalitas kontrol terhadap partai, atau Anas dan para pendukungnya hijrah ke partai lain, Nasdem misalnya. Menghadapi dua pilihan ini, tampillah faktor Komisi Pemberantasan Korupsi. Itulah penjelasan desak- an SBY kepada KPK agar segera menentukan nasib Anas.
Kalau akhirnya Anas bisa dijadikan tersangka, dua pilihan yang tersedia sekarang hampir pasti akan tertutup bagi sang mantan ketua umum. Di dalam partai Anas akan tersingkir, sementara kemungkinan hijrah bakal terhalang oleh status hukumnya yang tersangka.
Partai mana pun sulit menerima orang yang sedang berurusan dengan KPK. Halnya akan lain kalau ternyata ada lapisan kedua kepemimpinan Anas dalam partai. Jika demikian halnya, dengan restu dan lobinya, para pengikut ketua umum itu bisa diakomodasi partai lain, sementara Anas menunggu nasibnya ditentukan KPK. Mengingat penyusunan daftar calon legislatif sudah makin mendesak, faktor waktu sangat penting di sini.
Musuh utama SBY sebagai juru selamat PD adalah waktu. Bisakah dalam waktu singkat keterpurukan elektabilitas PD diatasi? Ketika SBY tak lagi maju sebagai capres, sementara partainya sedang terimpit beban berat sebagai partai yang dirundung korupsi, apakah kampanye SBY masih akan membuat penggemarnya memilih PD? Juga masih tetap perlu dipertanyakan, merosotnya elektabilitas PD bukankah cermin yang juga memantulkan merosotnya popularitas SBY?

Related Product :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Hot Spring News - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger